Muhammadiyah dan Hukum Profetik: Islam Bukan Ritual, Tapi Jalan Peradaban

Featured Image

Pendekatan Hukum dalam Muhammadiyah: Lebih dari Sekadar Fikih

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung hangat di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menyampaikan gagasan penting tentang mazhab hukum Muhammadiyah. Diskusi ini menjadi bagian dari Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pemikiran Hukum Muhammadiyah" yang diselenggarakan oleh Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat, 4 Juli 2025.

Mazhab Hukum Profetik: Berpijak pada Kemaslahatan Umat

Hamim menjelaskan bahwa mazhab hukum Muhammadiyah bukan sekadar tafsir tekstual hukum Tuhan, melainkan mazhab hukum profetik yang berlandaskan nilai kemaslahatan umat dan semangat membangun peradaban. Pendekatan ini tidak terbatas pada hukum ibadah atau urusan pribadi dengan Tuhan, tetapi memiliki cita-cita besar untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara keseluruhan, baik dari aspek materi maupun spiritual, serta dari dunia hingga akhirat.

“Mazhab hukum Muhammadiyah adalah hukum profetik yang berlandaskan tauhid, ibadah, dan amal shaleh, serta diarahkan untuk memakmurkan bumi melalui akal sehat yang dinamis dan progresif,” ujar Hamim.

Penjelasannya didasarkan pada Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang mencantumkan tujuh pokok ajaran: ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, ittiba’ Rasul, amar ma’ruf nahi munkar, dan kenegaraan. Dari semua itu, ajaran tentang kemasyarakatan menjadi sangat penting.

Menurutnya, fungsi hukum dalam Islam tidak boleh disempitkan sebagai larangan dan perintah, tetapi harus dilihat sebagai alat rekayasa sosial Islami, cara untuk mengubah masyarakat menuju keadilan, persaudaraan, dan kesejahteraan bersama.

Kritik Terhadap Fikih Lama: Saatnya Menyusun Ushul Fikih Sendiri

Dalam forum tersebut, Hamim juga menyampaikan kritik serius terhadap ushul fikih klasik. Menurutnya, kerangka hukum Islam yang diwarisi dari masa lalu sudah tidak lagi memadai menghadapi tantangan zaman modern.

“Kita tidak bisa terus memakai kerangka lama yang menekankan Islam sebagai agama ritual semata. Hukum tidak boleh menjadi formalitas, tapi harus mencerminkan nilai rahmat dan kemajuan,” katanya.

Hamim menyebutkan, banyak istilah seperti khitabullah (titah Tuhan) dalam ushul fikih menjadi tidak relevan ketika realitas hukum yang digunakan justru hasil ijtihad dan konsensus ulama, bukan wahyu murni.

Hukum Profetik: Tauhid, Amal, dan Akal Sehat

Apa itu mazhab hukum profetik? Menurut Hamim, ini adalah sistem hukum yang dibangun atas tauhid (kesadaran ilahiah), ibadah (koneksi spiritual), dan fi’lal khairat (aksi kebajikan). Tujuannya bukan hanya menjalankan syariat secara ritual, tapi menciptakan tatanan sosial yang adil, maju, dan penuh kasih.

Hamim juga menyoroti kesalahpahaman publik terhadap istilah syariah yang terlalu sering dikaitkan semata-mata dengan fikih ibadah. Padahal dalam Al-Qur’an, syariah juga mencakup kitab suci, hukum, kenabian, kemakmuran, dan keunggulan nilai-nilai besar yang menjadi ciri khas umat unggul.

“Kalau hukum agama hanya dimaknai hukum ibadah, maka Islam kehilangan peran peradabannya,” terang Hamim.

Ekonomi Syariah Masih Hilah, Belum Solusi Sistemik

Tidak hanya pada level teori, Hamim juga menyentil praktik hukum ekonomi Islam saat ini. Menurutnya, masih mengandalkan trik-trik hukum (hilah) untuk menghindari riba, alih-alih menciptakan sistem ekonomi baru yang adil dan otentik.

“Perbankan syariah kita masih mengandalkan akad-akad lama seperti murabahah dan mudharabah yang sebenarnya hanya menghindari bunga, bukan menyusun sistem ekonomi Islam secara utuh,” ujarnya.

Ia mendorong Muhammadiyah untuk menyusun fikih perbankan Islami sendiri yang tidak sekadar menghindari riba secara teknis, tapi menciptakan solusi yang relevan dengan keadilan ekonomi dan visi tauhid.

Islam Bukan Cuma Ritual: Ada Tugas Peradaban di Dalamnya

Salah satu hal paling menarik dari paparan Hamim, terkait usulan menjadikan amal usaha Muhammadiyah sebagai "rukun Islam ekstra". Menurutnya, karena amal usaha inilah yang menjadi instrumen dakwah dan transformasi sosial secara nyata.

Menurut Hamim, umat Islam tidak boleh puas dengan menjalankan syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji saja, tapi harus bergerak lebih jauh ke ranah pemberdayaan sosial.

“Hukum profetik seharusnya menjadi alat memakmurkan bumi, bukan justru meruntuhkan bangunan peradaban,” kata Hamim menambahkan.

Post a Comment