Pemimpin Tertinggi Iran Tampil di Publik Usai Perang Iran-Israel

Featured Image

Kehadiran Khamenei di Tengah Duka dan Perang

Di tengah langit Teheran yang masih tertutup awan, para peziarah berkumpul di aula Imam Khomeini Hosseinieh. Di antara rasa duka yang menggema untuk Imam Hussain, tokoh paling penting Iran akhirnya muncul—dengan kehadiran yang sunyi namun penuh makna. Ayatollah Ali Khamenei, yang selama tiga malam Muharram tidak terlihat di kediamannya di Jalan Palestina, kini hadir di tengah umatnya. Setiap langkahnya direkam oleh kamera, bukan sekadar kehadiran rutin dalam upacara Asyura.

Ini adalah pertama kalinya publik melihat pemimpin Iran setelah perang antara Iran dan 'Israel' pecah, yang berlangsung hanya dua minggu sebelumnya. Selama masa ini, banyak orang khawatir tentang keberadaan Khamenei. Namun, kini mereka bisa menyaksikan bahwa ia masih hidup dan berdiri di tengah kerumunan.

Tiga Malam Tanpa Khamenei

Tahun ini, bulan Muharram terasa berbeda di rumah Khamenei. Selama tiga malam, doa dan ratapan dilakukan tanpa kehadirannya. Ketidakhadiran tersebut menimbulkan banyak tanda tanya. Di belakang layar, Iran sedang berada dalam situasi sulit. Ancaman pembunuhan terhadap Khamenei bahkan disampaikan secara terbuka oleh Tel Aviv dan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Namun, meskipun dalam kondisi yang penuh tantangan, Khamenei tetap bicara. Pidato-pidatonya ditayangkan saat Iran sedang dibombardir. Ia mengecam, menuduh, dan memicu semangat perlawanan. Saat Washington disebut terlibat dalam serangan ke Iran demi menyelamatkan Tel Aviv, Khamenei tidak diam. Iran merespons dengan serangan rudal dan drone.

Perang Dua Minggu dan Banyak Korban

Konflik pecah pada 13 Juni ketika 'Israel' melakukan serangan udara terhadap fasilitas militer, nuklir, dan sipil di Iran. Setidaknya 935 nyawa melayang. Kementerian Kesehatan Iran mencatat lebih dari 5.300 warga terluka. Tak lama kemudian, Teheran membalas dengan serangan rudal dan drone. Sebanyak 29 orang tewas di wilayah 'Israel', sementara lebih dari 3.400 lainnya terluka, menurut klaim Universitas Ibrani Yerusalem.

Sementara itu, Amerika Serikat turun tangan—bukan untuk meredakan konflik, tetapi justru membombardir fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan. Dunia terbelah, diplomasi macet, dan ancaman perang dunia sempat mengintai. Pada 24 Juni, gencatan senjata diumumkan. Meski difasilitasi oleh AS, negara yang sebelumnya menjadi pemicu konflik, gencatan ini memberikan ruang bagi Iran untuk bernapas dan memberi waktu bagi Khamenei untuk kembali.

Asyura di Tengah Reruntuhan

Pada hari Sabtu, aula Hosseinieh terasa lebih senyap dari biasanya. Kesyahidan Imam Hussain seperti menyatu dengan luka-luka kontemporer. Para hadirin menangis bukan hanya untuk Karbala, tapi juga untuk Isfahan, Natanz, dan anak-anak yang menjadi korban perang.

Dalam rekaman video yang diunggah akun resmi Khamenei di platform X, terlihat para jemaah menyambut kehadiran beliau dengan takbir dan isak haru. Keberadaannya menjadi tanda bahwa Iran masih bertahan.

Bukan Hanya Ritual

Asyura selalu menjadi momentum perlawanan spiritual dalam sejarah Syiah. Tahun ini, ia juga menjadi panggung bagi pemimpin tertinggi untuk menandai eksistensinya kembali—dalam tubuh yang menua, namun semangat yang terus menyala. Kehadiran Khamenei dalam Asyura tahun ini bukan sekadar ritual keagamaan. Ini adalah simbol bahwa pemimpin itu tidak lari, bahwa luka belum selesai, dan bahwa perang—meski telah usai secara teknis—masih berdenyut dalam tubuh bangsa Iran.

Dengan segala keterbatasannya, ia berdiri. Di tengah duka. Di antara reruntuhan. Dalam aura mistik Muharram yang membisikkan satu pesan kuat: “Zulm tidak akan menang.”

Post a Comment